Senin, 03 Januari 2011

uu 31/pelabuhan


 




KEPUTUSAN 

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

NOMOR: KEP.10/MEN/2004

TENTANG

PELABUHAN PERIKANAN

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Menimbang       :    a.   bahwa  Pelabuhan  Perikanan  mempunyai  peranan  penting  dan
strategis  dalam  menunjang  peningkatan  produksi  perikanan,
memperlancar  arus  lalu  lintas  kapal  perikanan,  mendorong
pertumbuhan  perekonomian  masyarakat  perikanan  serta
mempercepat  pelayanan  terhadap  seluruh  kegiatan  yang
bergerak di bidang usaha perikanan;

b.   bahwa  dalam  rangka  penyelenggaraan  Pelabuhan  Perikanan,
agar  lebih  berdaya  guna  dan  berhasil  guna,  dalam  rangka
melaksanakan  peranannya  tersebut  huruf  (a),  dipandang  perlu
menetapkan  ketentuan  tentang  Pelabuhan  Perikanan,  dengan
Keputusan Menteri;

Mengingat        :  1.  Undang-undang  Nomor  9  Tahun  1985  tentang  Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

2.    Undang-undang  Nomor  23  Tahun  1997  tentang  Pengelolaan
Lingkungan  Hidup  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Tahun  1997  Nomor  68,  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor
3699);

3.    Peraturan  Pemerintah  Nomor  69  Tahun  2001  tentang
Kepelabuhanan  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun
2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4145);

4.    Peraturan  Pemerintah  Nomor  54  Tahun  2002  tentang  Usaha
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4230);

5.    Peraturan  Pemerintah  Nomor  62  Tahun  2002  tentang  Tarif

2


Atas  Jenis  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak  Yang  Berlaku
Pada Departemen Kelautan Dan Perikanan (Lembaran Negara
Republik  Indonesia  Tahun  2002  Nomor  118,  Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4241);

6.    Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

7.    Keputusan  Presiden  Nomor  102  Tahun  2001  tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan  Tata  Kerja  Departemen,  sebagaimana  telah  diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002;

8.    Keputusan  Presiden  Nomor  109  Tahun  2001  tentang  Unit
Organisasi  dan  Tugas  Eselon  I  Departemen,  sebagaimana
telah  diubah  dengan  Keputusan  Presiden  Nomor  47  Tahun
2002;

9.    Keputusan       Menteri      Kelautan      dan       Perikanan       Nomor
KEP.26.I/MEN/2001  tentang  Organisasi  dan  Tata  Kerja
Pelabuhan Perikanan;

10.  Keputusan        Menteri       Kelautan       dan      Perikanan        Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan
Peraturan  Perundang-undangan  di  Lingkungan  Departemen
Kelautan dan Perikanan;

11.  Keputusan        Menteri       Kelautan       dan      Perikanan        Nomor
KEP.05/MEN/2003  tentang  Organisasi  dan  Tata  Kerja
Departemen Kelautan dan Perikanan;

12.  Keputusan        Menteri       Kelautan       dan      Perikanan        Nomor
KEP.10/MEN/2003  tentang  Perizinan  Usaha  Penangkapan
Ikan;

13.  Keputusan        Menteri       Kelautan       dan       Perikanan       Nomor
KEP.02/MEN/2004  tentang  Perizinan  Usaha  Pembudidayaan
Ikan;

MEMUTUSKAN :



Menetapkan         :    KEPUTUSAN  MENTERI  KELAUTAN  DAN  PERIKANAN
TENTANG PELABUHAN PERIKANAN.

3


BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan:

1.     Perikanan  adalah  semua  kegiatan  yang  berhubungan  dengan  pengelolaan  dan
pemanfaatan sumber daya ikan.

2.     Pelabuhan  Perikanan  adalah  tempat  yang  terdiri  dari  daratan  dan  perairan  di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan  sistem  bisnis  perikanan  yang  dipergunakan  sebagai  tempat  kapal
perikanan  bersandar,  berlabuh  dan/atau  bongkar  muat  ikan  yang  dilengkapi
dengan  fasilitas  keselamatan  pelayaran  dan  kegiatan  penunjang  Pelabuhan
Perikanan.

3.     Penangkapan  ikan  adalah  kegiatan  yang  bertujuan  untuk  memperoleh  ikan  di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk  kegiatan  yang  menggunakan  kapal  untuk  memuat,  mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, atau mengawetkan.

4.     Pelabuhan Perikanan Samudera, untuk selanjutnya disebut PPS, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas A, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha  perikanan  di  wilayah  laut  teritorial,  Zona  Ekonomi  Eksklusif  Indonesia,  dan
wilayah perairan internasional.

5.     Pelabuhan Perikanan Nusantara, untuk selanjutnya disebut PPN, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha  perikanan  di  wilayah  laut  teritorial  dan  wilayah  Zona  Ekonomi  Eksklusif
Indonesia.

6.     Pelabuhan  Perikanan  Pantai,  untuk  selanjutnya  disebut  PPP,             adalah  Pelabuhan
Perikanan Klas C, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial,
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

7.     Pangkalan  Pendaratan  Ikan,  untuk  selanjutnya  disebut  PPI,              adalah  Pelabuhan
Perikanan  Klas  D,  yang  skala  pelayanannya  sekurang-kurangnya  mencakup
kegiatan usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

8.     Fasilitas  Pelabuhan  Perikanan  adalah  sarana  dan  prasarana  yang  tersedia  di
Pelabuhan Perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan.

9.     Pemeliharaan  adalah  segala  upaya  yang  bertujuan  untuk  mengoptimalkan

4


kegunaan dan fungsi Pelabuhan Perikanan. 

10.  Wilayah  Pengelolaan  Perikanan  adalah  Perairan  Indonesia  dan  Zona  Ekonomi
Eksklusif Indonesia.

11.  Kapal  Perikanan  adalah  kapal  atau  perahu  atau  alat  apung  lainnya  yang
dipergunakan  untuk  melakukan  penangkapan  ikan  termasuk  untuk  melakukan
survei atau eksplorasi perikanan.

12.  Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.

13.  Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

14.  Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota.

15.  Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.

BAB  II

RUANG LINGKUP

Pasal  2

Ruang  lingkup  penyelenggaraan  Pelabuhan  Perikanan  sebagai  prasarana  perikanan
meliputi  perencanaan  dan  penetapan  lokasi,  pembangunan,  pengoperasian,
pengusahaan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian.



BAB III

KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

Pasal  3

(1)   Pelabuhan Perikanan dibangun oleh:

a. Pemerintah;

b. Pemerintah Propinsi; atau

c.  Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2)   Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Pemerintah  sebagaimana  dimaksud
dalam ayat (1) huruf a merupakan unit pelaksana teknis Pemerintah yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.

(3)   Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Pemerintah  Propinsi  sebagaimana

5


dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  b  berada  di  bawah  dan  bertanggung  jawab
kepada Gubernur.

(4)   Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Pemerintah  Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.

Pasal 4

(1) Pelabuhan  Perikanan  selain  dibangun  oleh  Pemerintah,  Pemerintah  Propinsi,  dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat dibangun
oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia yang telah mempunyai Izin
Usaha Perikanan (IUP).

(2) Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Perusahaan  Perikanan  berbadan  hukum
Indonesia  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  selain  untuk  melayani
kepentingan  sendiri  dapat  pula  untuk  melayani  kepentingan  perikanan  pada
umumnya dengan persetujuan Direktur Jenderal.

(3) Persyaratan  dan  tata  cara  pemberian  persetujuan  sebagaimana  dimaksud  dalam
ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(4) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum
Indonesia    secara  teknis  berada  di  bawah    pembinaan  dan  bertanggung  jawab
kepada Direktur Jenderal.

(5) Dalam  pembinaan  sehari-hari,  Direktur  Jenderal  dapat  mendelegasikan  kepada
Dinas  Propinsi  atau  Kabupaten/Kota  yang  bertanggung  jawab  di  bidang
perikanan.

Pasal 5

(1) Pelabuhan        Perikanan       sebagaimana        dimaksud       dalam       Pasal      4      wajib
menyelenggarakan         fungsi-fungsi       Pelabuhan       Perikanan       dan      memfasilitasi
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(2) Penyelenggaraan          fungsi-fungsi       Pelabuhan        Perikanan       dan       fungsi-fungsi
pemerintahan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diatur  lebih  lanjut  oleh
Direktur Jenderal.

Pasal 6

Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3  dan  Pasal  4  ayat  (1)
mempunyai  tugas  melaksanakan  fasilitasi  produksi,  fasilitasi  penanganan  dan
pengolahan, fasilitasi pengendalian dan pengawasan mutu, fasilitasi pemasaran hasil
perikanan  di  wilayahnya,  fasilitasi  dan  melakukan  pembinaan  masyarakat  nelayan,

6


pengendalian  dan  pengawasan  pemanfaatan  sumberdaya  ikan,  fasilitasi  kelancaran
kegiatan kapal perikanan, serta fasilitasi pengumpulan data.

Pasal 7

Dalam  melaksanakan    tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  6,  Pelabuhan
Perikanan menyelenggarakan fungsi:

a.    Perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, serta pemanfaatan sarana Pelabuhan
Perikanan;

b.    Pelayanan teknis kapal perikanan;

c.    Koordinasi pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan
kawasan pelabuhan perikanan;

d.   Pengembangan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat perikanan;

e.    Pelaksanaan  fasilitasi  dan  koordinasi  di  wilayahnya  untuk  peningkatan  produksi,
distribusi, dan pemasaran hasil perikanan;

f.    Pelaksanaan pengawasan penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan
mutu hasil perikanan;

g.    Pelaksanaan  pengumpulan,  pengolahan,  dan  penyajian  data  dan  statistik
perikanan;

h.    Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi hasil riset, produksi,
dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya;

i.     Pemantauan wilayah pesisir dan fasilitasi wisata bahari;

j.     Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

BAB  IV

PERENCANAAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 8

Perencanaan  Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  meliputi 
penetapan Rencana Induk secara nasional, penetapan klasifikasi pelabuhan yang akan
dibangun,  penetapan  wilayah  perairan  dan  daratan  tertentu  yang  menjadi  Daerah
lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan.

Pasal 9

(1) Menteri  menetapkan  Rencana  Induk  secara  nasional  yang  meliputi  rencana

7


pembangunan Pelabuhan Perikanan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang.

(2) Rencana pembangunan Pelabuhan Perikanan wajib mempertimbangkan:

a.    Potensi sumberdaya ikan dan pengelolaannya;

b.   Potensi sumberdaya manusia;

c.    Dukungan  terhadap  pengembangan  ekonomi  wilayah  baik  regional  maupun
nasional;

d.   Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Nasional;

e.    Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota.

(3) Rencana  Induk  secara  nasional  ditetapkan  dan  ditinjau  setiap  3  (tiga)  tahun  dan
dapat  ditinjau  kembali  sebelum  waktu  3  tahun  berdasarkan  pertimbangan
kebutuhan sesuai aspirasi dan perkembangan ekonomi perikanan di setiap daerah.

Pasal  10

(1) Klasifikasi  Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3  ayat  (1)
terdiri dari:

a.    PPS;

b.    PPN;

c.    PPP;

d.    PPI.

(2) Klasifikasi  PPS  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  a  ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:

a)    Melayani  kapal  perikanan  yang  melakukan  kegiatan  penangkapan  ikan  di
wilayah laut teritorial, ZEEI, dan perairan internasional;

b)    Memiliki  fasilitas  tambat  labuh  untuk  kapal  perikanan  berukuran  sekurang-
kurangnya 60 Gross Tonnage (GT);

c)    Panjang  dermaga  sekurang-kurangnya  300  m,  dengan  kedalaman  kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m;

d)    Mampu  menampung  sekurang-kurangnya  100  kapal  perikanan  atau  jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan




sekaligus;

8


e)    Jumlah ikan yang didaratkan rata-rata  60 ton/hari;

f)    Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;

g)    Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas  30 Ha;

h)    Memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan; dan

i)     Terdapat industri perikanan.

(3) Klasifikasi  PPN  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  b  ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:

a)    Melayani  kapal  perikanan  yang  melakukan  kegiatan  penangkapan  ikan  di
wilayah laut teritorial dan wilayah ZEEI;

b)    Memiliki  fasilitas  tambat  labuh  untuk  kapal  perikanan  berukuran    sekurang-
kurangnya 30 Gross Tonnage (GT);

c)    Panjang  dermaga  sekurang-kurangnya  150  m  dengan  kedalaman  kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m;

d)    Mampu  menampung  sekurang-kurangnya  75  kapal  perikanan  atau  jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya  2.250 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan
sekaligus;

e)    Jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 30 ton/hari;

f)    Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;

g)    Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 15 Ha;

h)    Memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan; dan

i)     Terdapat industri perikanan.

(4) Klasifikasi  PPP  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  c  ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:

a)    Melayani  kapal  perikanan  yang          mencakup  kegiatan  perikanan  di  wilayah
perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan wilayah ZEEI;

b)    Memiliki  fasilitas  tambat  labuh  untuk  kapal  perikanan  berukuran  sekurang-
kurangnya 10 Gross Tonnage (GT);

c)    Panjang  dermaga  sekurang-kurangnya  100  m  dengan  kedalaman  kolam





sekurang-kurangnya minus 2 m;

9


d)   Mampu  menampung  sekurang-kurangnya  30  kapal  perikanan  atau  jumlah
keseluruhan  sekurang-kurangnya  300  Gross  Tonnage  (GT)  kapal  perikanan
sekaligus; dan

e)    Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 5 Ha.

(5) Klasifikasi  PPI  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  huruf  d  ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:

a)    Melayani  kapal  perikanan  yang  mencakup  kegiatan  perikanan  di  wilayah
perairan pedalaman dan perairan kepulauan; 

b)    Memiliki  fasilitas  tambat  labuh  untuk  kapal  perikanan  berukuran  sekurang-
kurangnya 3 Gross Tonnage (GT);

c)    Panjang  dermaga    sekurang-kurangnya  50  m  dengan  kedalaman  kolam
minus 2 m;

d)    Mampu  menampung  sekurang-kurangnya  20  kapal  perikanan  atau  jumlah
keseluruhan  sekurang-kurangnya    60  Gross  Tonnage  (GT)  kapal  perikanan
sekaligus; dan

e)    Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas  2 Ha.

(6) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum
Indonesia  disetarakan  dengan  klasifikasi  Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 11

(1) Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  10  ayat  (1)  huruf    b,
huruf c, dan huruf d dapat ditingkatkan klasnya sesuai dengan kriteria teknis yang
telah ditetapkan.

(2) Peningkatan  klas  untuk  Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Pemerintah
Kabupaten/Kota  diusulkan  oleh  Bupati/Walikota  kepada  Menteri  melalui  Direktur
Jenderal.

(3) Peningkatan  klas  untuk  Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Pemerintah
Propinsi diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.

(4) Peningkatan klas Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diusulkan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri.

(5) Peningkatan  klas  Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  oleh  Perusahaan  Perikanan


10


berbadan hukum Indonesia diusulkan oleh perusahaan yang bersangkutan kepada
Menteri  melalui  Direktur  Jenderal  atas  rekomendasi  Bupati/Walikota  dimana
pelabuhan tersebut berkedudukan.

(6) Tata  cara  pengusulan  peningkatan  klas  Pelabuhan  Perikanan                      sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Pasal  12

(1)   Daerah  Lingkungan  Kerja  Pelabuhan  Perikanan  terdiri  dari  wilayah  daratan  dan
perairan  yang  dipergunakan    secara  langsung  untuk  kegiatan  Pelabuhan
Perikanan.

(2)   Daerah  Lingkungan  Kerja  Daratan  Pelabuhan  Perikanan  meliputi  wilayah  daratan
yang  digunakan  untuk  kegiatan  fasilitas  pokok,  fasilitas  fungsional,  dan  fasilitas
penunjang  antara  lain  untuk  kegiatan  bongkar  ikan,  pelelangan,  pengepakan,
kawasan  industri  perikanan,  kawasan  pelayanan  perbekalan,  dan  perbaikan  kapal
perikanan, serta fasilitas umum lainnya di kawasan Pelabuhan Perikanan.

(3)   Daerah  Lingkungan  Kerja  Perairan  Pelabuhan  Perikanan  meliputi  batas  wilayah
perairan  yang  dipergunakan  untuk  kegiatan  alur  pelayaran,  penempatan  rambu-
rambu navigasi, tempat tambat labuh, tempat alih muat antar kapal perikanan, olah
gerak kapal perikanan, dan perbaikan kapal perikanan.

(4)   Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Perikanan meliputi wilayah daratan dan
wilayah perairan yang berpengaruh langsung terhadap pengembangan operasional
Pelabuhan  Perikanan,  termasuk  jalan  akses  menuju  Pelabuhan  Perikanan  dan
kawasan pemukiman nelayan.

(5)   Daerah  Lingkungan  Kerja  dan  Daerah  Lingkungan  Kepentingan  Pelabuhan
Perikanan  ditetapkan  oleh  Menteri  berdasarkan  persetujuan  Pemerintah  Daerah
setempat.

(6)   Daerah  Lingkungan  Kerja  Pelabuhan  Perikanan  yang  mempunyai  kesamaan
kepentingan  dengan  instansi  lain  ditetapkan  oleh  Menteri  bersama-sama  dengan
instansi terkait.

BAB V 

PEMBANGUNAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal  13

(1)   Penetapan  lokasi  pembangunan  Pelabuhan  Perikanan  mengacu  pada  Rencana
Induk Pelabuhan Perikanan secara nasional  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dan Pasal 9 ayat (1) dan pedoman teknis pembangunan Pelabuhan Perikanan yang




ditetapkan oleh Menteri.

11


(2)   Pembangunan       Pelabuhan       Perikanan      harus       melalui      pentahapan       Study,
Investigation, Design, Construction, Operation and Maintenance (SIDCOM).

(3)   Petunjuk  pelaksanaan  mengenai  tahapan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Pasal 14

(1)   Setiap  pembangunan  Pelabuhan  Perikanan  wajib  terlebih  dahulu  memperoleh
persetujuan Direktur Jenderal.

(2)   Pemerintah  Propinsi  atau  Kabupaten/Kota  yang  akan  membangun  Pelabuhan
Perikanan  wajib  mengajukan  permohonan  persetujuan  pembangunan  Pelabuhan
Perikanan kepada Direktur Jenderal.

(3)   Perusahaan  Perikanan  berbadan  hukum  Indonesia  yang  akan  membangun
Pelabuhan  Perikanan  wajib  mengajukan  permohonan  persetujuan  pembangunan
Pelabuhan  Perikanan  kepada  Direktur  Jenderal,  dengan  rekomendasi  dari
Pemerintah  Daerah  setempat  sesuai  dengan  rencana  lokasi  pembangunan
Pelabuhan Perikanan.

(4)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Pasal 15

(1)   Fasilitas  Pelabuhan  Perikanan  meliputi  fasilitas  pokok,  fasilitas  fungsional,  dan
fasilitas penunjang.

(2)   Fasilitas  pokok  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:

a.    fasilitas pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin;

b.    fasilitas tambat seperti dermaga dan jetty;

c.    fasilitas perairan seperti kolam dan alur pelayaran;

d.    fasilitas penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan

e.    fasilitas lahan seperti lahan Pelabuhan Perikanan.

(3)   Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:

a.    fasilitas  pemasaran  hasil  perikanan  seperti  Tempat  Pelelangan  Ikan  (TPI)  dan
Pasar Ikan;


12


b.    fasilitas  navigasi  pelayaran  dan  komunikasi  seperti  telepon,  internet,  SSB,
rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas;

c.    fasilitas suplai air bersih, es, listrik, dan bahan bakar;

d.    fasilitas  pemeliharaan  kapal  dan  alat  penangkap  ikan  seperti  dock/slipway,
bengkel, dan tempat perbaikan jaring;

e.    fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti  transit sheed  dan
laboratorium pembinaan mutu;

f.    fasilitas  perkantoran  seperti  Kantor  Administrasi  Pelabuhan  dan  kantor  swasta
lainnya;

g.    fasilitas transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan

h.    fasilitas pengolahan limbah seperti IPAL.

(4)   Fasilitas penunjang  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:

a.    fasilitas pembinaan nelayan seperti Balai Pertemuan Nelayan;

b.    fasilitas  Pengelola  Pelabuhan  seperti  Mess  Operator,  Pos  Jaga,  dan  Pos
Pelayanan Terpadu;

c.    fasilitas  sosial  dan  umum  seperti  Tempat  Penginapan  Nelayan,  tempat
peribadatan, MCK, Guest House, dan Kios; dan

d.    fasilitas Kios IPTEK.

(5)   Spesifikasi  teknis  fasilitas  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2),    ayat  (3),  dan
ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



BAB VI

PENGOPERASIAN

Pasal  16

(1)   Pelabuhan  Perikanan  yang  telah  dibangun  dan  akan  dioperasikan  wajib  terlebih
dahulu memperoleh persetujuan pengoperasian Pelabuhan Perikanan dari Direktur
Jenderal.

(2)   Pemerintah  Propinsi  atau  Kabupaten/Kota  yang  akan  mengoperasikan  Pelabuhan
Perikanan  wajib  mengajukan  permohonan  persetujuan  pengoperasian  pelabuhan




kepada Direktur Jenderal.

13


(3)   Persetujuan  pengoperasian  Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam
ayat  (1)  diberikan  setelah  memenuhi  persyaratan  dan  petunjuk  teknis
pengoperasian yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(4)   Persetujuan pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang dibangun dan/atau dikelola
oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia diberikan setelah memenuhi
persyaratan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dan  disertai  dengan
rekomendasi dari Pemerintah Daerah setempat.

Pasal  17

(1)   Di  setiap  Pelabuhan  Perikanan  yang  dioperasikan  wajib  mengakomodir  fungsi-
fungsi Pemerintahan yang meliputi:

a.    Keselamatan pelayaran;

b.    Keamanan dan ketertiban;

c.    Bea  Cukai  bagi  Pelabuhan  Perikanan  yang  terbuka  untuk  perdagangan  luar
negeri;

d.    Imigrasi  bagi  Pelabuhan  Perikanan  yang  terbuka  untuk  perdagangan  luar
negeri;

e.    Pembinaan mutu hasil perikanan;

f.    Pengawas sumberdaya ikan;

g.    Kesehatan; dan

h.    Hal-hal lain yang terkait dengan Pelabuhan Perikanan.

(2)   Setiap  Pelabuhan  Perikanan  wajib  menyediakan  fasilitas  untuk  penyelenggaraan
fungsi-fungsi Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)   Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator dalam penyelenggaraan
Pelabuhan  Perikanan  dan  menetapkan  prosedur  operasional  standar  Pelabuhan
Perikanan.

(4)   Penyelenggaraan  fungsi-fungsi  pemerintahan  pada  Pelabuhan  Perikanan  yang
dibangun  oleh  Perusahaan  Perikanan  berbadan  hukum  Indonesia  diatur  dan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(5)   Tata  hubungan  kerja  Pelabuhan  Perikanan  dengan  instansi  terkait  selanjutnya
ditetapkan tersendiri oleh Menteri.


14


BAB VII

PENGUSAHAAN

Pasal  18

(1)   Pelabuhan  Perikanan  yang  dibangun  dan  dioperasikan  oleh  Pemerintah  atau
Pemerintah  Daerah  dapat  diusahakan  untuk  memperoleh  Penerimaan  Negara
Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

(2)   Pelabuhan  Perikanan yang dibangun dan dioperasikan oleh  Perusahaan  Perikanan
berbadan  hukum  Indonesia  dapat  diusahakan  dengan  mengacu  pada  ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri.

(3)   Pengusahaan  Pelabuhan  Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  terdiri
dari:

a.    Penyewaan fasilitas yang bersifat tetap antara lain:

-   Sewa lahan;

-   Sewa bangunan;

-   Sewa Cold Storage; 

-   Sewa peralatan.

b.    Pelayanan jasa antara lain:

-   jasa pelayanan kapal;

-   jasa pelayanan barang dan alat;

-   jasa pelayanan pemenuhan perbekalan kapal perikanan;

-   jasa pelayanan pelelangan ikan;

-   jasa pelayanan pas masuk dan parkir;

-   jasa pelayanan pengujian mutu;

-   jasa lainnya.

(4)   Penyewaan dan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikenakan
biaya sewa atau biaya pelayanan jasa.

(5)   Tata  cara  pemungutan  dan  besarnya  biaya  sewa  atau  jasa  pelayanan  Pelabuhan
Perikanan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (4),  ditetapkan  sesuai  peraturan




perundang-undangan yang berlaku.

15


Pasal 19

(1)   Setiap  orang  atau  badan  hukum  wajib  memelihara  fasilitas  Pelabuhan  Perikanan
yang digunakan.

(2)   Dalam  hal  orang  atau  badan  hukum  karena  perbuatan  atau  kelalaiannya
mengakibatkan kerusakan terhadap fasilitas yang digunakan, dikenakan ganti rugi.

(3)   Besarnya biaya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sesuai
dengan besarnya biaya perbaikan fasilitas.

(4)   Setiap  orang  atau  badan  hukum  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  wajib
menyerahkan  jaminan  kepada  Kepala  Pelabuhan  Perikanan  sebelum  pelaksanaan
perbaikan fasilitas.



BAB VIII

PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Pasal 20

(1)   Pengelola  Pelabuhan  Perikanan  wajib  melaporkan  kegiatan  operasional
Pelabuhan  Perikanan  yang  dikelolanya  setiap  bulan  kepada  Menteri  melalui
Direktur  Jenderal,  dengan  tembusan  kepada  Gubernur  atau  Bupati/Walikota
setempat.

(2)   Tata  cara  pelaporan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diatur  lebih  lanjut
oleh Direktur Jenderal.

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal  21

(1) Direktur  Jenderal  melaksanakan  pembinaan  teknis  operasional  terhadap
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (1).

(2) Pengelola Pelabuhan Perikanan melakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar
Pelabuhan  Perikanan,  dalam  upaya                peningkatan  usaha  dan  pengelolaan
sumberdaya perikanan.

(3) Setiap  kapal  penangkap  dan/atau  kapal  pengangkut  ikan,  wajib  masuk  di


16


Pelabuhan  Perikanan  yang  telah  ditetapkan  sebagai  Pelabuhan  Pangkalan  dan
dicantumkan dalam SPI atau SIKPI atau Pelabuhan Singgah.

BAB X

PENUTUP

Pasal  22

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal  24 Pebruari 2004
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

ttd.

ROKHMIN DAHURI



Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi





Narmoko Prasmadji

Tidak ada komentar: