KEPUTUSAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
NOMOR: KEP.10/MEN/2004
TENTANG
PELABUHAN PERIKANAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
Menimbang : a. bahwa Pelabuhan Perikanan mempunyai peranan penting dan
strategis dalam menunjang peningkatan produksi perikanan,
memperlancar arus lalu lintas kapal perikanan, mendorong
pertumbuhan perekonomian masyarakat perikanan serta
mempercepat pelayanan terhadap seluruh kegiatan yang
bergerak di bidang usaha perikanan;
b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan Pelabuhan Perikanan,
agar lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam rangka
melaksanakan peranannya tersebut huruf (a), dipandang perlu
menetapkan ketentuan tentang Pelabuhan Perikanan, dengan
Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4145);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4230);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif
2
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Departemen Kelautan Dan Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4241);
6. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
7. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002;
8. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen, sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun
2002;
9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.26.I/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Pelabuhan Perikanan;
10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen
Kelautan dan Perikanan;
11. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kelautan dan Perikanan;
12. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan
Ikan;
13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.02/MEN/2004 tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan
Ikan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
TENTANG PELABUHAN PERIKANAN.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan:
1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan.
2. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal
perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang Pelabuhan
Perikanan.
3. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, atau mengawetkan.
4. Pelabuhan Perikanan Samudera, untuk selanjutnya disebut PPS, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas A, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha perikanan di wilayah laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan
wilayah perairan internasional.
5. Pelabuhan Perikanan Nusantara, untuk selanjutnya disebut PPN, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha perikanan di wilayah laut teritorial dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
6. Pelabuhan Perikanan Pantai, untuk selanjutnya disebut PPP, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas C, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan
usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial,
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
7. Pangkalan Pendaratan Ikan, untuk selanjutnya disebut PPI, adalah Pelabuhan
Perikanan Klas D, yang skala pelayanannya sekurang-kurangnya mencakup
kegiatan usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
8. Fasilitas Pelabuhan Perikanan adalah sarana dan prasarana yang tersedia di
Pelabuhan Perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan.
9. Pemeliharaan adalah segala upaya yang bertujuan untuk mengoptimalkan
4
kegunaan dan fungsi Pelabuhan Perikanan.
10. Wilayah Pengelolaan Perikanan adalah Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
11. Kapal Perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan termasuk untuk melakukan
survei atau eksplorasi perikanan.
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
13. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
14. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota.
15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup penyelenggaraan Pelabuhan Perikanan sebagai prasarana perikanan
meliputi perencanaan dan penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian,
pengusahaan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian.
BAB III
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 3
(1) Pelabuhan Perikanan dibangun oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Propinsi; atau
c. Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a merupakan unit pelaksana teknis Pemerintah yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
(3) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah Propinsi sebagaimana
5
dimaksud dalam ayat (1) huruf b berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Gubernur.
(4) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.
Pasal 4
(1) Pelabuhan Perikanan selain dibangun oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat dibangun
oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia yang telah mempunyai Izin
Usaha Perikanan (IUP).
(2) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain untuk melayani
kepentingan sendiri dapat pula untuk melayani kepentingan perikanan pada
umumnya dengan persetujuan Direktur Jenderal.
(3) Persyaratan dan tata cara pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum
Indonesia secara teknis berada di bawah pembinaan dan bertanggung jawab
kepada Direktur Jenderal.
(5) Dalam pembinaan sehari-hari, Direktur Jenderal dapat mendelegasikan kepada
Dinas Propinsi atau Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
perikanan.
Pasal 5
(1) Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
menyelenggarakan fungsi-fungsi Pelabuhan Perikanan dan memfasilitasi
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Penyelenggaraan fungsi-fungsi Pelabuhan Perikanan dan fungsi-fungsi
pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
Pasal 6
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1)
mempunyai tugas melaksanakan fasilitasi produksi, fasilitasi penanganan dan
pengolahan, fasilitasi pengendalian dan pengawasan mutu, fasilitasi pemasaran hasil
perikanan di wilayahnya, fasilitasi dan melakukan pembinaan masyarakat nelayan,
6
pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan, fasilitasi kelancaran
kegiatan kapal perikanan, serta fasilitasi pengumpulan data.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pelabuhan
Perikanan menyelenggarakan fungsi:
a. Perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, serta pemanfaatan sarana Pelabuhan
Perikanan;
b. Pelayanan teknis kapal perikanan;
c. Koordinasi pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan
kawasan pelabuhan perikanan;
d. Pengembangan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat perikanan;
e. Pelaksanaan fasilitasi dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan produksi,
distribusi, dan pemasaran hasil perikanan;
f. Pelaksanaan pengawasan penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan
mutu hasil perikanan;
g. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan statistik
perikanan;
h. Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi hasil riset, produksi,
dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya;
i. Pemantauan wilayah pesisir dan fasilitasi wisata bahari;
j. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
BAB IV
PERENCANAAN PELABUHAN PERIKANAN
Pasal 8
Perencanaan Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi
penetapan Rencana Induk secara nasional, penetapan klasifikasi pelabuhan yang akan
dibangun, penetapan wilayah perairan dan daratan tertentu yang menjadi Daerah
lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan.
Pasal 9
(1) Menteri menetapkan Rencana Induk secara nasional yang meliputi rencana
7
pembangunan Pelabuhan Perikanan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang.
(2) Rencana pembangunan Pelabuhan Perikanan wajib mempertimbangkan:
a. Potensi sumberdaya ikan dan pengelolaannya;
b. Potensi sumberdaya manusia;
c. Dukungan terhadap pengembangan ekonomi wilayah baik regional maupun
nasional;
d. Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Nasional;
e. Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota.
(3) Rencana Induk secara nasional ditetapkan dan ditinjau setiap 3 (tiga) tahun dan
dapat ditinjau kembali sebelum waktu 3 tahun berdasarkan pertimbangan
kebutuhan sesuai aspirasi dan perkembangan ekonomi perikanan di setiap daerah.
Pasal 10
(1) Klasifikasi Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
terdiri dari:
a. PPS;
b. PPN;
c. PPP;
d. PPI.
(2) Klasifikasi PPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:
a) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di
wilayah laut teritorial, ZEEI, dan perairan internasional;
b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-
kurangnya 60 Gross Tonnage (GT);
c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m;
d) Mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan
sekaligus;
8
e) Jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 60 ton/hari;
f) Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;
g) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 30 Ha;
h) Memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan; dan
i) Terdapat industri perikanan.
(3) Klasifikasi PPN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:
a) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di
wilayah laut teritorial dan wilayah ZEEI;
b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-
kurangnya 30 Gross Tonnage (GT);
c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 3 m;
d) Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan
sekaligus;
e) Jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 30 ton/hari;
f) Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;
g) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 15 Ha;
h) Memiliki laboratorium pengujian mutu hasil perikanan; dan
i) Terdapat industri perikanan.
(4) Klasifikasi PPP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:
a) Melayani kapal perikanan yang mencakup kegiatan perikanan di wilayah
perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan wilayah ZEEI;
b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-
kurangnya 10 Gross Tonnage (GT);
c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m dengan kedalaman kolam
sekurang-kurangnya minus 2 m;
9
d) Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 300 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan
sekaligus; dan
e) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 5 Ha.
(5) Klasifikasi PPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d ditetapkan
berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:
a) Melayani kapal perikanan yang mencakup kegiatan perikanan di wilayah
perairan pedalaman dan perairan kepulauan;
b) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-
kurangnya 3 Gross Tonnage (GT);
c) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m dengan kedalaman kolam
minus 2 m;
d) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 60 Gross Tonnage (GT) kapal perikanan
sekaligus; dan
e) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 2 Ha.
(6) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum
Indonesia disetarakan dengan klasifikasi Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 11
(1) Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf d dapat ditingkatkan klasnya sesuai dengan kriteria teknis yang
telah ditetapkan.
(2) Peningkatan klas untuk Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota diusulkan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal.
(3) Peningkatan klas untuk Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah
Propinsi diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(4) Peningkatan klas Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diusulkan oleh Direktur Jenderal kepada Menteri.
(5) Peningkatan klas Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Perusahaan Perikanan
10
berbadan hukum Indonesia diusulkan oleh perusahaan yang bersangkutan kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal atas rekomendasi Bupati/Walikota dimana
pelabuhan tersebut berkedudukan.
(6) Tata cara pengusulan peningkatan klas Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 12
(1) Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan Perikanan terdiri dari wilayah daratan dan
perairan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan Pelabuhan
Perikanan.
(2) Daerah Lingkungan Kerja Daratan Pelabuhan Perikanan meliputi wilayah daratan
yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas
penunjang antara lain untuk kegiatan bongkar ikan, pelelangan, pengepakan,
kawasan industri perikanan, kawasan pelayanan perbekalan, dan perbaikan kapal
perikanan, serta fasilitas umum lainnya di kawasan Pelabuhan Perikanan.
(3) Daerah Lingkungan Kerja Perairan Pelabuhan Perikanan meliputi batas wilayah
perairan yang dipergunakan untuk kegiatan alur pelayaran, penempatan rambu-
rambu navigasi, tempat tambat labuh, tempat alih muat antar kapal perikanan, olah
gerak kapal perikanan, dan perbaikan kapal perikanan.
(4) Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Perikanan meliputi wilayah daratan dan
wilayah perairan yang berpengaruh langsung terhadap pengembangan operasional
Pelabuhan Perikanan, termasuk jalan akses menuju Pelabuhan Perikanan dan
kawasan pemukiman nelayan.
(5) Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan
Perikanan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan persetujuan Pemerintah Daerah
setempat.
(6) Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan Perikanan yang mempunyai kesamaan
kepentingan dengan instansi lain ditetapkan oleh Menteri bersama-sama dengan
instansi terkait.
BAB V
PEMBANGUNAN PELABUHAN PERIKANAN
Pasal 13
(1) Penetapan lokasi pembangunan Pelabuhan Perikanan mengacu pada Rencana
Induk Pelabuhan Perikanan secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dan Pasal 9 ayat (1) dan pedoman teknis pembangunan Pelabuhan Perikanan yang
ditetapkan oleh Menteri.
11
(2) Pembangunan Pelabuhan Perikanan harus melalui pentahapan Study,
Investigation, Design, Construction, Operation and Maintenance (SIDCOM).
(3) Petunjuk pelaksanaan mengenai tahapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 14
(1) Setiap pembangunan Pelabuhan Perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Direktur Jenderal.
(2) Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota yang akan membangun Pelabuhan
Perikanan wajib mengajukan permohonan persetujuan pembangunan Pelabuhan
Perikanan kepada Direktur Jenderal.
(3) Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia yang akan membangun
Pelabuhan Perikanan wajib mengajukan permohonan persetujuan pembangunan
Pelabuhan Perikanan kepada Direktur Jenderal, dengan rekomendasi dari
Pemerintah Daerah setempat sesuai dengan rencana lokasi pembangunan
Pelabuhan Perikanan.
(4) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 15
(1) Fasilitas Pelabuhan Perikanan meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan
fasilitas penunjang.
(2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:
a. fasilitas pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin;
b. fasilitas tambat seperti dermaga dan jetty;
c. fasilitas perairan seperti kolam dan alur pelayaran;
d. fasilitas penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan
e. fasilitas lahan seperti lahan Pelabuhan Perikanan.
(3) Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:
a. fasilitas pemasaran hasil perikanan seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan
Pasar Ikan;
12
b. fasilitas navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB,
rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas;
c. fasilitas suplai air bersih, es, listrik, dan bahan bakar;
d. fasilitas pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway,
bengkel, dan tempat perbaikan jaring;
e. fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan
laboratorium pembinaan mutu;
f. fasilitas perkantoran seperti Kantor Administrasi Pelabuhan dan kantor swasta
lainnya;
g. fasilitas transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan
h. fasilitas pengolahan limbah seperti IPAL.
(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:
a. fasilitas pembinaan nelayan seperti Balai Pertemuan Nelayan;
b. fasilitas Pengelola Pelabuhan seperti Mess Operator, Pos Jaga, dan Pos
Pelayanan Terpadu;
c. fasilitas sosial dan umum seperti Tempat Penginapan Nelayan, tempat
peribadatan, MCK, Guest House, dan Kios; dan
d. fasilitas Kios IPTEK.
(5) Spesifikasi teknis fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
BAB VI
PENGOPERASIAN
Pasal 16
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah dibangun dan akan dioperasikan wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan pengoperasian Pelabuhan Perikanan dari Direktur
Jenderal.
(2) Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota yang akan mengoperasikan Pelabuhan
Perikanan wajib mengajukan permohonan persetujuan pengoperasian pelabuhan
kepada Direktur Jenderal.
13
(3) Persetujuan pengoperasian Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan dan petunjuk teknis
pengoperasian yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Persetujuan pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang dibangun dan/atau dikelola
oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia diberikan setelah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan disertai dengan
rekomendasi dari Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 17
(1) Di setiap Pelabuhan Perikanan yang dioperasikan wajib mengakomodir fungsi-
fungsi Pemerintahan yang meliputi:
a. Keselamatan pelayaran;
b. Keamanan dan ketertiban;
c. Bea Cukai bagi Pelabuhan Perikanan yang terbuka untuk perdagangan luar
negeri;
d. Imigrasi bagi Pelabuhan Perikanan yang terbuka untuk perdagangan luar
negeri;
e. Pembinaan mutu hasil perikanan;
f. Pengawas sumberdaya ikan;
g. Kesehatan; dan
h. Hal-hal lain yang terkait dengan Pelabuhan Perikanan.
(2) Setiap Pelabuhan Perikanan wajib menyediakan fasilitas untuk penyelenggaraan
fungsi-fungsi Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator dalam penyelenggaraan
Pelabuhan Perikanan dan menetapkan prosedur operasional standar Pelabuhan
Perikanan.
(4) Penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan pada Pelabuhan Perikanan yang
dibangun oleh Perusahaan Perikanan berbadan hukum Indonesia diatur dan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(5) Tata hubungan kerja Pelabuhan Perikanan dengan instansi terkait selanjutnya
ditetapkan tersendiri oleh Menteri.
14
BAB VII
PENGUSAHAAN
Pasal 18
(1) Pelabuhan Perikanan yang dibangun dan dioperasikan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dapat diusahakan untuk memperoleh Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
(2) Pelabuhan Perikanan yang dibangun dan dioperasikan oleh Perusahaan Perikanan
berbadan hukum Indonesia dapat diusahakan dengan mengacu pada ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pengusahaan Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
dari:
a. Penyewaan fasilitas yang bersifat tetap antara lain:
- Sewa lahan;
- Sewa bangunan;
- Sewa Cold Storage;
- Sewa peralatan.
b. Pelayanan jasa antara lain:
- jasa pelayanan kapal;
- jasa pelayanan barang dan alat;
- jasa pelayanan pemenuhan perbekalan kapal perikanan;
- jasa pelayanan pelelangan ikan;
- jasa pelayanan pas masuk dan parkir;
- jasa pelayanan pengujian mutu;
- jasa lainnya.
(4) Penyewaan dan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikenakan
biaya sewa atau biaya pelayanan jasa.
(5) Tata cara pemungutan dan besarnya biaya sewa atau jasa pelayanan Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), ditetapkan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
15
Pasal 19
(1) Setiap orang atau badan hukum wajib memelihara fasilitas Pelabuhan Perikanan
yang digunakan.
(2) Dalam hal orang atau badan hukum karena perbuatan atau kelalaiannya
mengakibatkan kerusakan terhadap fasilitas yang digunakan, dikenakan ganti rugi.
(3) Besarnya biaya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sesuai
dengan besarnya biaya perbaikan fasilitas.
(4) Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
menyerahkan jaminan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan sebelum pelaksanaan
perbaikan fasilitas.
BAB VIII
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Pasal 20
(1) Pengelola Pelabuhan Perikanan wajib melaporkan kegiatan operasional
Pelabuhan Perikanan yang dikelolanya setiap bulan kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
setempat.
(2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
(1) Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan teknis operasional terhadap
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (1).
(2) Pengelola Pelabuhan Perikanan melakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar
Pelabuhan Perikanan, dalam upaya peningkatan usaha dan pengelolaan
sumberdaya perikanan.
(3) Setiap kapal penangkap dan/atau kapal pengangkut ikan, wajib masuk di
16
Pelabuhan Perikanan yang telah ditetapkan sebagai Pelabuhan Pangkalan dan
dicantumkan dalam SPI atau SIKPI atau Pelabuhan Singgah.
BAB X
PENUTUP
Pasal 22
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Pebruari 2004
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
ttd.
ROKHMIN DAHURI
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Narmoko Prasmadji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar